Sebelum agama Islam masuk di Bolaang Mongondow
tahun 1848 pada masa pemerintahan Raja Jacobus Manuel Manoppo maka di Kerajaan
Bolaang Mongondow sudah ada agama Katolik. Bahkan sudah termasuk agama tua di
Bolaang Mongondow karena Raja Loloda’ Mokoagow pada masa pemerintahannya tahun
1689 sudah memeluk agama katolik.
Akan tetapi
setelah kekuasaan Raja Loloda’ Mokoagow menyebar sampai ke seluruh daerah
Minahasa sekaligus mengangkat dirinya sebagai Raja Manado(1633-1655) maka Raja
Kerajaan Bolaang Mongondow itu benar-benar berada dipuncak ketenaran dan
kemasyhuran. Ia dikenal sebagai seorang yang berbakat tinggi dalam ilmu
strategi dan unggul dalam bidang diplomasi sehingga Sultan Hairun dan sultan
Baabullah dari Kesultanan Ternate mengikat perjanjian dengannya, bahkan
raja-raja Ternate perhitungkan rasa hormat terhadap raja-raja Bolaang Mongondow
sebagai asal keturunan mereka.
Tidak
mengherankan terjalinnya hubungan yang intim antara Raja Loloda Mokoagow yang
sudah memeluk agama Katolik menyatakan masuk agama Islam yaitu agama yang sudah
mendarah daging di KEsultanan Ternate. Walaupun demikian keislaman yang dianut
loloda mokoagow hanyalah formalitas belaka karena Loloda’ mokoagow masih lebih
banyak dipengaruhi kepercayaan lama Bolaang Mongondow.
Demikian pula
raja-raja berikutnya yang silih berganti tidak ada yang tertarik dengan agama
Islam yang sudah dianut Raja Loloda Mokoagow karena semuanya memeluk agama
Kristen Katolik.
Raja Loloda
Mokoagow diganti Raja Jacobus Manoppo(1689-1731) yang sebelum naik takhta sudah
memeluk agama Katolik. Secara estafet agama Katolik menjadi pula agama 9 raja
yang silih berganti sesudah raja jacobus Manoppo. Kesembilan raja itu masing-masing: Jacobus
Manoppo, Fransiscus Manoppo, salomon Manoppo, Eugenus Manoppo, cristoffel Manoppo,
Marcus Manoppo, Manuel Manoppo, Ismail Cornelis Manoppo dan Jacobus Manuel
Manoppo.
Dalam
kurun waktu setengah abad itu tidak Nampak perkembangan agama Islam yang pernah
dianut Raja Loloda Mokoagow. Yang ada hanya agama Katolik dan kepercayaan lama.
Oleh sebab itu kalau ada yang mengatakan bahwa agama Islam masuk di Bolaang
Mongondow sejak masa pemerintahan Raja Loloda Mokoagow tahun 1653 sebagaimana
yang dinyatakan beberapa penulis maka secara kenyataan sejarah memang tidak
dapat dibantah tapi dalam hal masuk dan berkembangnya dalam arti sebenarnya
belum dapat dijadikan pegangan bahwa tahun 1653 sebagai titik tolak masuknya
agama Islam di Bolaang Mongondow. Apalagi pada saat Raja loloda Mokoagow masih
menguasai daerah Minahasa dan Kota Manado yang hampir seluruhnya sudah memeluk
agama Kristen.
Barulah pada
masa pemerintahan Raja Jacobus Manuel Manoppo(1833-1858) maka dipedalaman
Bolaang Mongondowsudah terbentuk semacam desa-desa tempat pemukiman yang
rumah-rumah penduduknya sudah saling berdekatan yang disebut Lipung, seperti
Lipung Kotobangon, Lipung Moyag, yang lama kelamaan menjadi Lipu’ atau
desa/kampung.
Maka di lipung
simboy tagadan sekarang kelurahan motoboi kecil kecamatan kotamobagu sudah ada
sekelompok masyarakat yang memeluk agama Islam.
Konon pembawa
pertama agama Islam keLipung Simboy Tagadan sekarang Kelurahan Motoboy Kecil
Kecamatan Kotamobagu Selatan sudah ada sekelompok Masyarakat yang memeluk agama
Islam.
Konon pembawa
pertama agama Islam ke Lipung Simboy Tagadan itu adalah suatu tim dari daerah
Gorontalo pimpinan Imam Tueko dimana dalam tim disebut tim 9 terdapat seorang
yang bernama Datao yang segera melanjutkan penybaran agama Islam ke Lipung
tetangga yaitu Lipung Linow yang sekarang bernama Kelurahan Molinow yang
kemudian kawin dan memperoleh keturunan. Panggilan kepada Datao ini oleh
masyarakat molinow lama-lama berubah menjadi Detu yang hingga kini merupakan
satu marga besar di kelurahan itu. Dan seorang lagi bernama Eyato mendapat
tugas menyebarkan agama Islam di Kotabunan, selanjutnya kawin dan memperoleh
keturunan di wilayah itu.
Disamping itu
terdapat pula seorang gadis cantik jelita putri kandung Imam Tueko yang fasih
membaca ayat-ayat suci Al-Quran dan pandai melagukan zikir, barudah dan Qosidah
dengan suaranya yang sangat merdu. Disamping itu terdapat pula seorang Ata
(Budak) untuk dipersembahkan kepada Raja Bolaang Mongondow dan beberapa rebana
dan kecapi sebagai alat pengiring lagu-lagu zikir, barudah dan Qosidah.
Pada suatu hari
imam Tueko menghadap Raja melapor kedatangan mereka seraya mempersembahkan Ata
(Budak) yang dibawa dari Gorontalo kemudian memohon kesediaan Raja Jacobus
Manuel Manoppo kiranya menyaksikan pagelaran kesenian yang sudah dipersiapkan
dengan matang.
Ketika
menyaksikan pagelaran kesenian Islam itu raja Jacobus terguncang hatinya mendengar
suara putri Imam Tueko yang bernama Kiling (Kilingo) yang begitu merdu dan
mengharukan tatkala membacakan ayat-ayat suci Al-Quran sebagai pembukaan
pergelaran kesenian Islam yang terdiri; Zikir, Brajanji, Burudah dan Qosidah.
Akhrnya Raja jatuh cinta kepada gadis Kiling sehingga sang raja tak kuasa lagi membendung niatnya untuk
melamar putri Killing sebagai
Permaisuri. Lamaran itu diterima ayahnya Imam Tueko dengan syarat Raja lebih
dahulu masuk Islam. Persyaratan itu dipenuhi Raja dan saat itu juga Raja
Jacobus Manuel Manoppo mengucapkan ‘dua kalimat syahadat’ sebagai bai’at atau
pengakuan seorang yang masuk agama Islam.
Karena Raja
telah berganti agama dari agama Kristen Katolik menjadi agama Islam maka ia
segera berangkat ke Manado menghadap Residen untuk melapor diri bahwa ia sudah
keluar dari agama Kristen Katolik dan masuk agama Islam. Ia menanyakan apakah
Residen tidak keberatan jika orang-orang Kristen di Bolaang Mongondow beralih
menjadi agama Islam. Dalam hubungan ini Residen menyatakan bahwa baginya Rakyat
masuk agama Islam atau masuk agama Kristen sama saja, yang penting Raja dan
Rakyat harus memperlihatkan kesetiaan kepada Ratu Belanda. Dan karena Raja
sudah menjadi Islam maka Residen member I gelar Sultan dengan sebutan Sultan
Jacobus.
Di sisi lain
pada masa pemerintahan Raja Eugenius Manoppo (1767-1770) untuk kedua kalinya
agama Islam masuk di Istana kerajaan di Desa-Desa Bolaang. Akan tetapi masuknya
agama Islam di Istana Raja kali ini bukan untuk mengislamkan Raja yang telah
memeluk agama Katolik, tetapi hanyalah akibat perkawinan seorang saudagar Bugis
dari Sulawesi Selatan bernama Andi Latai dengan Putri Raja Eugenius Manoppo
yang bernama Hotinimbang yang berparas cantik rupawan. Perkawinan itupun dapat
terlaksana karena Andi Latai dapat memenuhi mas Kawin yang sangat mahal sebagai
persyaratan yang di tetapkan Raja untuk
mengijinkan Putrinya Hotinimbang dinikahi secara agama Islam dan
meninggalkan keyakinan dalam agama Katolik.
Sebenarnya
kedatangan Andi Latai ke Sulawesi Utara adalah memimpin perahu bugis yang
membawa barang-barang dagangan tetapi
dalam pertempuran melawan bajak laut yang cukup banyak, sehingga terpaksa Andi
Latai barlabuh di Pantai Bolaang dan
memohon perlindungan Raja dan mendapat sambutan baik dari Istana. Pada saat itu
diperairan Sulawesi dan Maluku banyak berkeliaran perampok-perampok (Bajak
Laut) yang selalu mencari mangsa terutama saudagar-saudagar yang membawa barang-barang
dagangan.
Dalam kurun waktu antara masuknya agama Islam
pada saat pemerintahan Eugenius Manoppo dan kebangkitan syiar Islam pada saat
masa Pemerintahan Sultan Jacobus Manuel Manoppo (1830) selama 60 tahun maka
pertumbuhan agama Islam di Bolaang Mongondow belum banyak mengalami kemajuan.
Agama Isla baru terdapat di pesisir Pantai Utara dalam hal ini di Kecamatan
Bolaang, sedangkan di dalam Istana Raja di Desa Bolaang terdapat dualisme karena
Raja tetap patuh pada agama Kristen Katolik, namun tidak juga melarang anak
mantunya Andi Latai untuk mengajar mengaji dan pengetahuan agama Islam terutama
kepada Istrinya, anak-anak dan cucu-cucunya.
Walaupun
demikian karena raja-raja yang silih berganti
mulai raja Cristofel Manoppo, Marcus Manoppo, Manuel Manoppo, Cornelius
Manoppo dan Ismail Manoppo dalam kurun waktu 60 tahun semuanya memeluk agama
Kristen Katolikdan menjadikanya sebagai agama kerajaan menyebabkan Andi Latai
dalam Usahanya menyebarkan agama Islam hanya berbatas pada anak cucu. Untuk
menghindari kemungkinan perbedaan
pendapat yang menajam dengan Raja yang
berkuasa, maka Andi Latai kembali
bolak-balik antara Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan membawa barang dagangan.
Dan salah seorang cucunya yang dinilai pintar dan berbakat agama Islam adalah
Andi Panungkelan untuk memperdalam ilmu agama Islam di Tanah Bugis.
Andi Panungkelan itu
akhirnya menjadi seorang ulama besar yang ketika pada tahun 1878 dinobatkan sebagai raja Bolaang Mongondow
dengan nama Resmi Abraham Sugeha. Selain jabatan sebagai Raja ia juga diangkat
sebagai Imam besar Kerajaan Bolaang Mongondow karena pada masanya merupakan raja
yang bukan diambil dari keluarga turunan Manoppo, maka Raja Abraham Sugeha
disebut sebagai Datoe Pinonigad atau Raja Penyeling.
Beberapa pengamat sejarah
berpendapat pemberian julukan Datoe Pinonigad itu hanya Taktis yang sengaja
dihidup-hidupkan piihak tertentu agar keturunan Sugeha tidak ada yang berpikir
menjadi putra Mahkota.sebab secara harfiah pengertian Datoe Pinonigad ialah
Pejabat sementara. Dan adalah tidak masuk akal Raja Abraham Sugeha yang
memerintah selama 15 tahun yaitu tahun 1878-1893 dengan memegang Surat
Keputusan dari Residen di Manado tentang pengangkatannya sebagai raja kerajaan
Bolaang Mongondow diberi julukan Raja sementara.